Senin, 20 Oktober 2014

Peace

PEACE (PERDAMAIAN)
Pdt. Larena br. Sinuhadji

"Some people in the world have never seen peace, only violence, which means they have been blind most of their lives. Let's enable them to see – 'Peace'." (Mathew Dimarco).

Ada satu kisah tentang seorang anak kecil bernama Putri. Putri gadis kecil berusia 5 tahun, suatu hari ikut ibunya berbelanja. Ketika itu ia melihat sebuah kalung mutiara tiruan. Kelihatannya amat indah, meskipun harganya tidak mahal. Putri sangat ingin memiliki kalung tersebut, dan mulai merengek kepada ibunya. Akhirnya sang ibu setuju, dan berkata, “Baiklah anakku, ibu akan membelikannya untukmu. Tetapi nanti, sesampai di rumah, kita buat daftar pekerjaan yang harus kamu lakukan sebagai gantinya. Dan biasanya nenek selalu memberimu uang pada hari ulang tahunmu. Itu juga harus kamu berikan kepada ibu.” “Baik,” kata Putri setuju. Mereka lalu membeli kalung tersebut. Setiap hari, dengan rajin mengerjakan pekerjaan yang ditulis dalam daftar yang ditulis dalam daftar oleh ibunya. Uang yang diberikan oleh neneknya pada hari ulang tahunnya juga diberikannya kepada ibunya. Tidak berapa lama, perjanjiannya dengan ibunya pun selesai. Ia mulai memakai kalung barunya dengan rasa bangga. Ia pakai kalung itu kemanapun ia pergi.
Putri juga mempunyai seorang ayah yang sangat menyayanginya. Setiap menjelang tidur, sang ayah membacakan sebuah buku cerita untuknya. Suatu hari, seusai membacakan cerita, sang ayah bertanya kepada Putri, “Putri, apakah kamu sayang ayah?” “Pasti. Ayah tahu betapa aku menyayangi ayah.” “Kalau kau memang mencintai ayah, berikanlah kalung mutiaramu pada ayah”. “Ya, ayah, jangan kalung ini. Ayah boleh ambil mainanku yang lain. Tapi, jangan ayah ambil kalungku.” “Ya, anakku, tidak apa-apa. Tidurlah.” Ayah Putri lalu mencium keningnya dan pergi, sambil berkata, “Selamat malam anakku. Semoga mimpi indah”. Seminggu kemudian, setelah membacakan cerita, ayahnya bertanya lagi, “Putri, apakah kamu sayang ayah?” “Pasti. Ayah kan tahu aku sangat mencintaimu.” “Kalau begitu, boleh ayah minta kalungmu?” “Ya, jangan kalungku. Ayah boleh ambil kuda-kudaanku, mainan yang paling aku senangi.” “Sudahlah nak, lupakanlah,” kata sang ayah. Beberapa hari setelah itu, Putri terus berpikir, mengapa ayahnya selalu meminta kalungnya, dan mengapa ayahnya selalu menanyai apakah ia sayang padanya atau tidak. Beberapa hari kemudian, ketika ayah membacakan cerita, Putri duduk dengan resah. Ketika ayahnya selesai membacakan cerita, dengan bibir bergetar ia mengulurkan tangannya yang mungil kepada ayahnya sambil berkata, “Ayah terimalah ini.” Ia lepaskan kalung kesayangannya dari genggamannya, dan ia melihat dengan penuh kesedihan, kalung tersebut berpindah ke tangan sang ayah. Dengan satu tangan menggenggam kalung mutiara palsu kesayangan anaknya, tangan lainnya mengambil sebuah kotak beludru biru kecil dari kantong bajunya. Di dalam kotak beludru itu terletak seuntai kalung mutiara sejati, sangat indah dan sangat mahal. Ia telah menyimpannya begitu lama untuk anak yang dikasihinya. Ia menunggu dan menunggu agar anaknya mau melepaskan kalung mutiara palsunya, sehingga ia dapat memberikan kepadanya kalung mutiara yang sejati. (I. Suharyo, 2003).
Marilah kita merenungkan sejenak kisah ini. Kisah ini bercerita tentang pewarisan nilai melalui pembicaraan damai. Sangat berbeda kontras dengan realita kekerasan di sekitar kita. Suatu kenyataan yang tidak bisa kita tolak bahwa kekerasan terjadi di mana-mana, di jalan-jalan, di tempat bekerja, di rumah-rumah, bahkan di sekolah-sekolah (tidak terkecuali sekolah-sekolah Kristen) yang sejatinya adalah tempat mewariskan nilai-nilai perdamaian. Rumah dan sekolah menjadi tempat kompetisi yang penuh dengan kekerasan, secara terang-terangan maupun terselubung, secara fisik maupun psikis. Perdamaian hanya sekedar kata-kata yang sering kita ucapkan tanpa makna. Mungkin apa yang dikatakan Mathew Dimarco di atas benar adanya, bahwa sebagian dari kita sudah buta terhadap perdamaian, karena sehari-hari hanya kekerasan yang kita lihat dan terima. Mungkin selama ini tanpa kita sadari, kita adalah pewaris kekerasan yang mewariskan kekerasan melalui pikiran, ucapan, dan tingkah laku kita.
Bersyukur kepada Tuhan, karena hari ini pelantikan Presiden Indonesia ke-7 dapat berjalan dengan lancar. Bahkan semua pihak yang selama ini “berbeda kepentingan” ikut hadir dalam acara pelantikan tersebut. Suatu hal yang langka terjadi di negara kita. Semoga ini adalah pertanda baik bahwa perdamaian tulus di negara kita tercinta ini akan segera terwujud. Semoga ini adalah langkah awal pewarisan nilai-nilai luhur berbangsa dan bernegara melalui pembicaraan damai. Mother Teresa pernah berkata demikian: “Peace is not something you wish for, peace is something you make, something you do, something you are, something you give away.” Perdamaian bukanlah sesuatu yang hanya kita harapkan, perdamaian harus kita ciptakan, perdamaian harus kita lakukan, perdamaian adalah kita, dan berikanlah perdamaian itu. Perdamaian adalah kita, Indonesia adalah kita!
Beberapa waktu sebelum Tuhan Yesus meninggalkan murid-muridNya, Ia berkata: “Damai sejahtera Kutinggalkan bagimu. Damai sejahtera-Ku Kuberikan kepadamu, dan apa yang Kuberikan tidak seperti yang diberikan oleh dunia kepadamu. Janganlah gelisah dan gentar hatimu” (Yoh. 14:27). Tuhan Yesus mengerti bahwa damai sejahtera dari Allah sangat sulit diwujudkan di tengah dunia yang penuh dengan kekerasan karena lebih mudah melawan kekerasan dengan kekerasan, oleh karena itu Ia mengatakan “Jangan gelisah dan gentar hatimu,” maksudnya adalah Tuhan telah mengaruniakan damai sejahtera dalam diri kita melalui Roh Kudus, marilah kita mewariskan perdamaian apapun resikonya, agar dunia ini dimampukan untuk melihat dan merasakan damai sejahtera Kristus. Amin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar